Kamis, 12 Oktober 2017

HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN KINERJA

UMUR
(Hasibuan, M.S.P. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed Revisi, Cet. 13. Jakarta: Bumi Aksara), berpendapat bahwa umur individu mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja ,tanggung jawab, dan cenderung absensi. Sebaliknya, karyawan yang umurnya lebih tua kondisi fisiknya kurang, tetapi bekerja ulet, dan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar.

Umur merupakan aspek individu yang melekat pada setiap pekerja dan berhubungan dengan aspek kinerja seseorang. Gibson (1996), peningkatan umur mempengaruhi kemampuan seseorang dalam pengambilan keputusan menimbulkan seseorang semakin bijaksana dan memiliki toleransi dengan pendapat orang lain. (Donnelly, Gibson. 1996. Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga)

Robbins (1996), bahwa umur berkaitan erat dengan kedewasaan, semakin tinggi umur semakin mampu menunjukan kematangan jiwa dan semakin dapat berfikir rasional, semakin bijaksana, mampu mengendalikan emosi dan semakin terbuka terhadap pandangan orang lain, sehingga umur semakin matang akan lebih mampu memperlihatkan kinerja. (Stephen P. Robbins, 1996.Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka. Edisi Keenam. Penerbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Levinston (1994) yang menyatakan bahwa umur 30 tahun ke bawah merupakan fase seseorang memulai komitmen masa depan, dan berupaya bekerja lebih baik untuk berkarir yang memuaskan.

Apa persepsi tentang pekerja yang sudah tua? Bukti menunjukkan bahwa para majikan mempunyai perasaan yang campur aduk. American Business and Older Workers, 1995). Mereka melihat seumlah kualitas positif yang dibawa orang tua kedalam pekerjaan mereka : khususnya pengalaman, pertimbangan, etika kerja yang kuat, dan komitmen terhadap mutu. Namun pekerja tua itu juga dianggap kuang luwes dan menolak teknologi baru dan pada suatu ketika organisasi mencari individu-individu yang dapat menyesuaikan diri dan terbuka terhadap perubahan, hal-hal negatif yang diasosiasikan dengan usia jelas menggangu pengangkatan awal atas karyawan tua dan meningkatkan kemungkinan mereka dibiarkan pergi selama perampingan organisasi.
American Business and Older Workers : A Road Map to the 21st Century,”sebuah laporan yang disiapkan untuk American Assosiation of Retired Persons oleh DYG, Inc.,1995; dan “Valuing Older Workerss: Astudy of Cost and Productivity,” sebuah laporan yang disiapkan untuk American Assosiation of Retired Persons oleh DYG, Inc.,1995

Saragih (2010) yang menyebutkan bahwa kepuasan kerja akan terus-menerus meningkat pada para karyawan yang profesional dengan bertambahnya usia mereka.

Septa (2011) kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah usia. Usia sendiri erat kaitannya dengan faktor motivasi karyawan ke diri mereka sendiri. Dengan adanya motivasi yang cukup dalam diri karyawan maka dengan sendirinya kepuasan kerja tersebut akan meningkat seiring dengan rasa nyaman dalam bekerja di lingkungan pekerjaan dan perilaku interaksi sosial dalam bekerja sesama karyawan. Puspasari RS. Gambaran kepuasan kerja karyawan perusahaan daerah air minum DKI Jakarta (PAM Jaya) Jakarta Pusat. Jurnal Psikologi 2011; 2(9):1-11

Berdasarkan Usia, maka secara umum dapat digolongkan sebagai berikut :
    1. Baby Boomers
    2. Generasi X
    3. Generasi Y
Baby Boomers

Generasi yang lahir pada tahun 1946 – 1964. Memiliki karakteristik “good relationship”, Boomers merupakan seseorang yang suka berkomunikasi dan membina hubungan, dijuluki juga sebagai pembangun hubungan. Secara umum seorang boomers ingin dihargai tetapi tidak ingin dipandang sebagai senior.
Kekuatan
  • Mengorbankan banyak hal untuk kepentingan karir dan pekerjaan. Bahkan kepentingan pribadi dan keluarganya pun akan dikorbankan demi karir atau pekerjaan.
  • Lebih mengutamakan proses daripada hasil. Karena menurutnya saat orang bekerja sama adalah saatnya membina hubungan.
Kelemahan
  • Konservatif dan menolak perubahan. Cenderung Idealis dan konvensional. Tapi karena boomers merupakan seseorang yang suka membina hubungan, maka kadang dia akan melakukan beberapa peningkatan dan perubahan dalam dirinya agar tetap bisa menjaga hubungannya.
  • Tidak dapat menangani konflik dengan baik. Boomers cenderung suka menghindari konflik, sehingga boomers dianggap tidak dapat menangani konflik dengan baik.
Generasi X

Generasi yang lahir pada tahun 1965 – 1976. Memiliki karakteristik mandiri dan loyal. Selalu ingin menciptakan keseimbangan dan kenyamanan dalam kehidupan sosial dengan dunia pekerjaan
Kekuatan
  • Sangat mandiri
  • Kreatif (mampu mencari alternatif cara penyelesaian masalah)
  • Mudah beradaptasi dengan perubahan dan memiliki kemampuan untuk merubah arah dengan cepat
Kelemahan
  • Selalu menghitung kontribusi yang telah diberikan perusahaan terhadap hasil pekerjaannya
  • Tidak mampu berkomitmen terhadap pekerjaan (cenderung pemalas dan tidak bersedia lembur)
Generasi Y

Generasi yang lahir pada tahun 1977 – 1997. Memiliki karakteristik kreatif, manja dan ambisius. Generasi Y ingin berkontribusi dan bermanfaat bagi perusahaan dan membutuhkan arahan dan bimbingan dalam pekerjaan.
Kekuatan
  • Memiliki banyak energi, antusiasme dan keinginan untuk berkontribusi lebih dan membuat suatu perubahan
  • Cenderung optimis dalam melaksanakan pekerjaannya
Kelemahan
  • Tidak menyukai pemimpin yang otoriter
  • Terbiasa mendapatkan semua yang diinginkannya. Memiliki mentalitas “I want it all, I want it now, and I want you to get it for me”
Sumber : Quinn, Susan. 2010. Generational Challenges in The Workplace. Associate Professor, Bisset School of Business. London.


TINGKAT PENDIDIKAN
Notoadmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta, Juni 2003, menyatakan bahwa orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi pula jika dibandingkan dengan orangorang yang memiliki pendidikan yang rendah dan melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak.

Status pernikahan seseorang sangat berpengaruh pada kualitas kerja yang dihasilkan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Purbadi dan Sofiana (2006) membuktikan bahwa individu yang telah menikah akan meningkat dalam kinerja karena mempunyai pemikiran yang lebih matang dan bijaksana. (Sofiana, NA dan Purbadi, D., 2006. Analisis Faktor Lingkungan dan Individu yang Berpengaruh Terhadap Peningkatan Kinerja Perawat .(Tesis) Institut Teknologi Bandung. http://digilib.itb.ac.id/dgl.php?mod =browse&op=read&id=jbptsbmitb -dgl-nooraridas-86).

Gibson (1996) dan Ilyas (2004), menyatakan bahwa pendidikan merupakan gambaran kemampuan dan keterampilan individu dan merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja.
(Donnelly, Gibson. 1996. Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga)

Menurut Gillies (1994), perawat berpendidikan tinggi memiliki kemampuan kerja lebih baik. Gillies, (1994). Nursing management: System approach. (3th ed), philadelpia: W. B. Saunders Co

Pendidikan yang tinggi menyebabkan seseorang lebih mudah dalam memahami dan menjalankan tugasnya dan berusaha menerima posisi tanggung jawab (Gibson, 1996)
(Donnelly, Gibson. 1996. Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga)

Penelitian yang dilakukan oleh Hap Yohannes (2013) menyebutkan bahwa dengan tingkat pendidikan yang dimiliki karyawan tergolong rendah semakin menurunkan kepuasan kerja karyawan yang seharusnya didapat. Hal tersebut terjadi karena dengan pendidikan yang rendah seorang karyawan tidak termotivasi atau tidak bersemangat bekerja. Yohannes (2013) menyarankan agar seorang karyawan yang memiliki pendidikan rendah mendapat pelatihan secara formal dan informal agar dia bisa menambah wawasan dalam bekerja dan dapat memotivasi kegiatan bekerja dengan harapan dapat meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerjanya.
Hap Yohannes. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 3 No. 2, Agustus 2016 43 


JENJANG KARIER
Sebuah Pandagan yang sangat menarik mengenai evolusi karir diberikan oleh Daniel Levinson, dkk. Model yang dia kembangkan berdasarkan telaah yang dilakukannya itu mengungkapkan bahwa kehidupan orang dewasa menyangkut serangkaian krisis atau peralihan pribadi dan yang berkaitan dengan karier yang terjadi dalam setiap jangka waktu antara lima sampai 10 tahun yang berentetan dan hampir dapat diramalkan (Stoner dan Wangkel, 1986 : 175) James AF.Stoner dan Charlee Wankel, Manajemen, terjemahan Wilkelmus W. Bakowatun,:Jakarta, Intermaedia, 1986, h. 62-63

JENIS KELAMIN
Robbin (1996) menyatakan tidak ada perbedaan yang konsisten antara perempuan dan laki-laki dalam kemampuan pemecahan masalah, keterampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, kemampuan sosial dan kemampuan belajar. (Stephen P. Robbins, 1996.Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka. Edisi Keenam. Penerbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Tomey (2003), bahwa sikap wanita menunjukan lebih bervariasi dari pada laki-laki, wanita lebih menekankan kondisi pekerjaan, jam dan kemudahan pekerjaan, supervisi dan aspek sosial dari pekerjaan dimana laki-laki lebih menekankan pada upah, kesempatan lebih maju, kebijakan dan manajemen perusahaan dan ketertarikan pada tugas. Tomey (2003). Nursing theorist and their work (third ed.).St. Luis: The CV. Mosby.Co

Robbins (2006) bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan berarti dalam produktivitas pekerjaan antara pria dan wanita. Robbins (2006), juga mengungkapkan hasil penelitian Quin (1974), bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara produktifitas kerja antara laki-laki dan perempuan. (Stephen P. Robbins, 1996.Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka. Edisi Keenam. Penerbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Gibson (1996), juga menyatakan kemampuan melakukan suatu pekerjaan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, pengalaman, potensi dan tanggung jawab yang diberikan dibandingkan dengan pengaruh jenis kelamin.
(Donnelly, Gibson. 1996. Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga)

Beberapa isu yang sering diperdebatkan, kesalah pahaman, dan pendapat-pendapat tanpa dukungan mengenai apakah kinerja wanita sama dengan kinerja pria ketika bekerja. Untuk memulai analisa ini sebaiknya kita awali dengan mengakui bahwa terdapat beberapa, jika ada, perbedaan-perbedaan penting antara pria dan wanita yang mempengaruhi kinerja mereka. Misalnya tidak ada perbedaan yang konsisten pria-wanita dalam kemampuan memecahkan masalah. Ketrampilan analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, atau kemampuan belajar. (Maccoby, 1981)
E. Maccoby dan C. Nagy Jacklin, the Psychology of Sex Differences (Stanford, CA: Stanford University Press, 1974) : A.H. Eagly dan L.L. Carli., “Sex Researchers and Sex Typed Communication as Determinants of Sex Differences in Influenceability : A meta Anlysis of Social influence Studies,”Psychology Bulletin, Agustus 1998, h.1-20 

MASA KERJA
Semakin lama seseorang bekerja semakin terampil dan semakin berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaan, juga menyebutkan bahwa bukti paling baru menunjukan suatu hubungan positif antara senioritas dan produktivitas pekerjaan, dengan demikian masa kerja yang diekspresikan sebagai pengalaman kerja, tampaknya menjadi dasar perkiraan yang baik terahadap produktivitas karyawan (Robbins, 1996).  (Stephen P. Robbins, 1996.Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka. Edisi Keenam. Penerbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Siagian (2002), masa kerja berdampak pada peningkatan kinerja. P. Siagian, Sondang.2002. Kepemimpinan Organisasi & Perilaku Administrasi, Jakarta: Penerbit Gunung Agung

Penelitian lainnya menujukkan hasil yang berbeda yakni hasil penelitian Lumbantoruan (2005), bahwa masa kerja tidak memiliki hubungan dengan kinerja. Lumbantoruan, Sophar.2005.Akuntansi Pajak.Jakarta:PT. Grasindo

Robbin, (1996), bahwa semakin lama seseorang bekerja akan semakin produktif dan berkualitas hasil pekerjaannya. (Stephen P. Robbins, 1996.Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi danAplikasi. Alih Bahasa : Hadyana Pujaatmaka. Edisi Keenam. Penerbit PT.Bhuana Ilmu Populer, Jakarta)

Aditama (2002) bahwa masa kerja yang panjang dengan pengembangan karir dirasakan sudah berakhir akan mempengaruhi tingkat kepuasan dan akhirnya mempengaruhi kinerja.
Aditama. (2002). Manajemen administrasi rumah sakit. Edisi kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia

STATUS PERKAWINAN
Tidak terdapat hubungan antara status perkawinan dengan produktivitas, namun hasil riset menunjukkan bahwa karyawan yang telah menikah mempunyai tingkat pengunduruan diri yang rendah, tingkat keabsenan yang rendah dan lebih puas dengan pekerjaannya dibanding rekan sejawat yang belum menikah, hal ini dapat dikaitkan dengan status perkawinan yang menuntut suatu tanggung jawab lebih besar (Robbins, Steepens. 2006. Perilaku organisasi edisi kesepuluh. Indeks. Jakarta)